Krisis multideminsi di negeri ini telah melampaui ambang batas psikologi. Sebagian orang sudah mulai apatis (masa bodoh), skeptic (ragu), stagnan (diam), dan bahkan prustasi (tidak ada harapan). Sebagaian analisis mengarahkan masalah ini kepada problem mendasar yakni, karakter yang mulai tercerabut oleh kehidupan “kiwari”. Krisis multidimensi mengindikasikan bahwa system kenegaraan dan kebangsaan mulai rapuh dan disangsikan keberadaannya. Dan sub-sistem yang paling menentukan bagi eksistensi sebuah Negara adalah sub-sistem pendidikan. Apakah krisis multidimensi negeri ini berkaitan dengan krisis dunia pendidikan?
Membicarakan pendidikan di Indonesia menjadi perbincangan yang menarik, menggugah dan menantang, ia bagaikan benang kusut yang harus diurai secara perlahan dan hati hati untuk menemukan ujung dari segala masalah dan ujung sejauhmana pendidikan ini telah berjalan, ia bagaikan masuk ruang gelap yang sulit menemukan tempat darimana mulai membenahinya, yang diperlukan pada ruang gelap hanyalah sebuah celah sekecil apapun untuk membantu menerangi tempat dan jalan hingga kita tahu dimana kita sedang berada dan seperti apa ruang itu, hingga kita dapat memastikan dari mana memulia pekerjaan berat ini, dan ia bagaikan masuk sebuah lingkaran, yang sulit menemukan awal dan akhir, dimana kita harus memulai dan berhenti, yang diperlukan adalah sejenak kita keluar dari lingkaran untuk melihat dari luar dengan cara pandang baru.
Pendidikan adalah sub-sistem dari system besar yaitu Negara, dan posisi pendidikan cukup strategis dalam menyiapkan SDM yang akan mengisi Negara. Maka Negara yang maju dan berkualitas mencerminkan pendidikan yang berjalan didalamnya berkualitas dan maju. Jadi untuk mengukur perkembangan dan kemajuan sebuah Negara dapat dilihat dari pendidikan yang berjalan didalamnya.
Kalau kita gunakan alur kerja system, maka problem output tidak berdiri sendiri, ia akan merunut kebelakang, dimana proses akan dipertanyakan, sejauhmana dan seperti apa proses yang dibangun, kemudian input seperti apa yang diterima proses, dan pada akhirnya nilai / falsafah yang menjadi paradigma sebuah bangsa akan dimintai pertanggungjawabannya?
Secara fenomenologis, seharusnya nilai mengendalikan keseluruhan system yang dibangun. Adapun lingkungan (nasional, regional, dan global) sebagai umpan balik dari output dan outcome yang posisinya seharusnya hanya memengaruhi. Ketika dua posisi ini terbalik, dimana lingkungan mengendalikan sebuah system yang dibangun, dan falsafah bangsa hanya memberi warna / mempengaruhi, maka system akan mengikuti tuntutan lingkungan, dan lingkungan yang kuat lah yang dapat mengendalikan sebuah system. Maka pada akhirnya system menjadi cetak biru lingkungan yang kuat. Falsafah / nilai / paradigma sebuah bangsa akan tergerus terbawa arus lingkungan yang kuat. akhirnya falsafah bangsa menjadi realitas simbolis belaka.
Globalisasi adalah ruang public yang luas dan besar tempat dimana terjadinya pertarungan dalam memperebutkan hegemoni. Kapitalisme global yang lahir dari falsafah “SEKULAR-MATERIALISTIK” telah menjadi kekuatan yang paling dominan dan mengendalikan pergerakan dan perubahan sejarah. Kekuasaannya melampui TUHAN, setiap jengkal ada dalam gengaman kekuasaannya, setiap Negara tunduk dan patuh padanya. Jika negera sebagai sebuah system yang besar saja tunduk dan pasrah, maka pendidikan yang ada dan berjalan didalamnyapun akan tergerus pada pusaran kepentingan Kapitalisme yang secular-materialistik.
Pada akhirnya kita perlu memastikan / merumuskan ulang sebuah paradigma bangsa yang bisa ajeg memberi identitas, menyatukan dan mengarahkan setiap tindakan tindakan masyarakatnya. Atau kita perlu melakukan revitalisasi atas paradigma bangsa untuk menciptakan nuansa, warna, dan gairah baru dalam mendinamisir gerak sejarah bangsa
Sementara pendidikan berfungsi untuk memastikan setiap manusia memiliki tujuan dalam kehidupannya, disinilah hakikat kehidupan dapat ditemukan. Pendidikan adalah upaya manusia memanusiakan dirinya. Manusia seperti apa yang seharusnya “ada” dan “mengada” ditengah tengan kehidupan. Jawaban jawaban pasti dan jelas yang disodorkan pendidikan akan membuat manusia aman dan bahagia.
Quo vadis adalah sebuah kalimat dalam bahasa Latin yang terjemahannya secara harfiah: “Kemana engkau pergi?” Kalimat ini adalah terjemahan Latin dari petikan dari bagian Perjanjian Baru di Alkitab Kristen, Injil Yohanes, bab 16 ayat 5. “tetapi sekarang Aku pergi kepada Dia yang telah mengutus Aku, dan tiada seorang pun di antara kamu yang bertanya kepada-Ku: Ke mana Engkau pergi?” (http://id.wikipedia.org/wiki/Quo_vadis)
“Kemana engkau pergi?” kalimat yang mempertanyakan tujuan. (baca: mau kemana?) Menetapkan tujuan tersimpan alasan-alasan mengapa memilih tujuan tersebut? Kemudian tergambar bagaimana tujuan itu harus dan dapat dicapai? Dalam pengertian seperti ini maka kata “quo vadis” sedang mempermasalahkan sebuah paradigma. Mengapa menjadi problem paradigma, karena tersimpan tiga pertanyaan mendasar tentang Apa (problem ontologis), mengapa (problem epistemologis) dan bagaimana (problem aksiologis).
Menurut AT. Soegito (2018: 29) paradigma yang bisa disebut sebagai “intellectual commitment” adalah suatu citra fundamental pokok permasalahan dari suatu ilmu yang lahir dari komunitas ilmuan yang memakai, mengembangkan, dan mengelola suatu pendekatan secara sungguh – sungguh. Mereka berfikir dengan acuan pemikiran yang sama, memakai asumsi asumsi konseptual teoritik fundamental yang sama pula, sehingga melahirkan cara berfikir paradigmatic. Paradigma menggariskan apa yang seharusnya dipelajari, pernyataan apa yang seharusnya dikemukakan, bagaimana seharusnya pernyataan itu dikemukakan, dan kaidah apa yang seharusnya diikuti dalam penafsiran atas jawaban yang diperolah.
Paradigma / cara pandang adalah sejenis kaca mata dengan kaca mata itu kita melihat, mengerti, memahami, dan bahkan menafsirkan keadaan. Dengan cara pandang apa kita melihat persoalan pendidikan, ini akan menentukan solusi yang akan ditawarkannya. Cara pandang / paradigma akan menyangkut pada aspek yang paling fundamental dalam kehidupan manusia, yaitu; falsafah, ideology, atau agama. Setiap cara pandang ini akan berbeda dalam melihat dan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang dihadapinya, termasuk permasalahan pendidikan.
Menurut AT. Soegito (2018: 29) paradigma pendidikan adalah pemikiran, persepsi, kepercayaan, pandangan dan sikap mengenai pendidikan sehingga menjadi pandangan hidup atau visi tertentu atau khas mengenai pendidikan dan berikutnya bagaimana masyarakat yang bersangkutan mengorganisasikan sistem pendidikannya. Pergeseran paradigma pendidikan nasional pada hakikatnya sebagai dampak dari tantangan abad XXI yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan abad abad sebelumnya. Karakteristik abad XXI akan berdampak pada pergeseran bahkan perubahan yang bersifat mendasar pada tataran filsafat, arah, dan tujuannya.
Masih menurut A.T. Soegito (2018: 30) Hal yang paling menonjol pada abad XXI adalah semakin bertautnya dunia ilmu pengetahuan, sehingga sinergi diantaranya menjadi semakin cepat, sehingga faktor ruang dan waktu menjadi semakin sempit, Abad XXI juga ditandai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dunia pendidikan. UU No 2 Tahun1989 tentang sistem pendidikan Nasioanal berisi pokok-pokok pikiran filosofis dan teoretik berbeda dengan pokok-pokok pikiran filosofis & teorotik pada UU No.20 Th 2003 tentang sistem pendidikan Nasional. Hal ini menunjukan adanya kesadaran dan komitmen pemerintah maupun para pengelola Nasional terhadap perubahan & pergeseran paradigmatik pendidikan nasional & manajemen pendidikan nasional, berkaitan dengan tantangan hakiki abad XXI, era global & peranan strategis pendidikan nasional untuk mempersiapkan anak bangsa yang berkualitas.