Menurut Hudaya Latuconsina (2014: 16) apabila kita membalikan kepersoalan pendidikan, bukankah esensi dari tujuan pendidikan nasional adalah melahirkan manusia manusia Indonesia menjadi hamba Allah SWT yang shaleh dan khalifah yang kompeten dan kreatif? Rumusan dari tujuan pendidikan nasional memang kerap kali berganti sejak tahun 1978, tapi esensi dari semuanya itu pada dasarnya sama.
Kalau kita elaboratisi, pandangan Latuconsina diatas, maka yang dimaksud dengan tujuan pendidikan nasional sejalan atau senafas dengan tujuan penciptaan manusia itu sendiri. Dalam sudut pandang Islam, bahwa manusia diciptakan untuk menjadi Abdullah, Khalifatullah, dan Rahmatanlil’alamin. Menjadi Abdullah, berorientasi pada penumbuhan dan pengembangan kesolehan personal-individual, hingga menjadi pribadi yang memiliki integritas yang utuh dan kukuh mengakar pada yang Ilahiyah, menjadi Khalifatullah, berorientasi pada penumbuhan dan pengembangan kepemimpinan manusia dimuka bumi, hingga menjadi manusia manusia yang kuat, tangguh, mandiri, dan berani, menjadi pribadi-pribadi yang aktif, proaktif, dan responsive terhadap masalah masalah kemanusiaan. Menjadi Rahmatanlil’alamin, berorientasi pada penumbuhan dan pengembangan daya kreatifitas dan inovasi dalam memberikan manfaat seluas luasnya bagi kehidupan mahluk Tuhan.
Masih menurut Hudaya Latuconsina (2014: 16) kita ingin melahirkan anak anak Indonesia yang beriman dan bertaqwa disatu sisi, disisi yang lain, kita juga ingin generasi yang berilmu, kreatif dan kompeten, namun dalam prakteknya, masih ada masalah. Tujuan pendidikan nasional yang mewah dan wah itu tidak/belum bisa diimplementasikan secara optimal ditingkat institusional (sekolah) dan intruksional (guru dalam mengajar). Akhirnya, disinilah gap out-put pendidikan muncul. Banyak lembaga sekolah yang tidak kreatif dalam melihat persoalan dan peluang dilingkungannya. Akhirnya proses pendidikan yang telah menelan waktu bertahun tahun dan biaya yang tinggi, ujung ujungnya menganggur dan menjadi beban. Belum lagi ketika bicara soal metode guru yang belum optimal menginsfirasi anak anak untuk menggunakan daya kreasinya. Tidak sedikit guru yang hanya menjadi birokrat kurikulum yang menggunakan doktrin, sehingga tidak memotivasi dan mencerahkan anak anak. Guru hanya menyuruh, marah dan memberi judgment.
Eksistesi negara sangat tergantung dari eksistensi lembaga pendidikan / sekolah, eksistensi sekolah sangat tergantung pada eksistensi kelas, dan eksistensi kelas sepenuhnya menjadi tanggungjawab guru. Karena, pendidikan adalah sub-sistem yang paling mementukan bagi sebuah system besar yang bernama negara. Oleh karenanya potret negara dimasa depan sangat terkait dengan eksistensi lembaga pendidikan hari ini.
Membangun kelas yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya karakter unggul peserta didik, menjadi tanggungjawab guru. Guru yang visioner, akan memiliki jiwa kompetetif, karena darisitulah kreatifitas akan tumbuh dan berkembang. Kreatifitas yang akan membuat warga kelas menjadi dinamis. Untuk membuat kelas menjadi ruang yang kreatif dan dinamis, setidaknya kita arahkan proses pembelajaran pada ranah:
- Learning to know (belajar untuk tahu)
Belajar adalah merangsang akal-pikiran manusia untuk terbuka, ketika akal-pikiran manusia terbuka, lahirlah keingiantahuan segala sesuatu. Keingintahuan segala sesuatu yang membuatnya selalu bertanya (apa, mengapa, dan bagaimana) “sesuatu itu ada dan mengada” apa yang diketahui dari hasil belajar, akan membuat manusia melakukan identifikasi, hingga mengatetahui apa yang seharusnya dilakukan pada kehidupan ini
- Learning to be (belajar untuk menjadi sesuatu)
Ketika dengan belajar manusia menjadi “tahu”. Pengetahuan ini akan membantu mendefinisikan dirinya dalam ruang dan waktu yang disinggahinya. Kurang lebih manusia bisa mengetahui “siapa dirinya”, “ada dimana”, dan “harus berbuat apa?”
- Learning to do (belajar melakukan sesuatu)
Dengan dan melalui belajar, manusia bisa mengidentifikasi dirinya berkait dengan persoalan siapa dirinya? Ada dimana? Dan harus berbuat apa? Belajar dalam hal ini adalah, bagaimana manusia bisa melengkapi dirinya dengan berbagai keterampilan hidup untuk melakukan sesuatu yang berguna dan bermanfaat.
- Learning to live together (belajar untuk hidup bersama)
Ketika manusia tahu apa yang harus dilakukannya, maka belajar untuk hidup bersama menjadi cara bagaimana ketika manusia beraktifitas bisa berkolaborasi dengan yang lainnya. Belajar dengan cara menumbuhkan kecerdasan emosional-sosial adalah cara bagaimana seseorang bisa dan sanggup hidup bersama dengan damai dan harmoni. Tidak ada manusia yang bisa sukses dan mulia sendirian.
Profesor Stenberg dari Yale University (Understanding Human Behavior: 1984) manyatakan bahwa ada 3 bentuk kecerdasan yang paling dibutuhkan menusia untuk sukses menjalankan berbagai macam peranan / pekerjaaannya, yaitu:
- Kecerdasan Analitis
Kemampuan menganalisa problem dan solusi, dari aspek sebab-akibat. Prioritas dan non-prioritas, jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang
- Kecerdasan Kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam menciptakan kreasi ataun solusi melalui berbagai macam proses kreatif
- Kecerdasan kontekstual
Kemampuan mengungkapkan berbagai pelajaran yang mencerdaskan dari praktik hidup seharu hari.
Jadi, kunci sukses pendidikan berasal dari sekolah, sekolah yang hebat tergantung kelas yang dikelolanya, kelas yang hebat akan sangat ditentukan oleh guru yang hebat, karena guru sebenarnya adalah pemimpin sekaligus manajer dalam mengelola, membentuk, dan mangarahkan kelas. Jadi, dengan demikian kunci sukses pendidikan adalah “Guru”